Pilih Cakada Ideal?
![]() |
Susilo*) |
Persoalan pemimpin dalam Islam mendapat perhatian serius. Sebab Ia dibutuhkan dalam masyarakat atau komunitas bahkan dalam
lingkup yang sangat kecil sekalipun. Adanya pemimpin mengendalikan sistem
secara lebih terarah. Tentu saja pemimpin di sini bukan seseorang dengan
otoritas mutlak. Ia dibatasi oleh syarat-syarat tertentu yang membuatnya harus
berjalan di atas aturan yang benar.
Pentingnya pemimpina menurut Islam, hingga Nabi memerintahkan, “Bila
ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara
mereka menjadi pemimpinnya.” (HR Abu Dawud). Bepergian merupakan kegiatan yang boleh dibilang sepele, itu saja
diperintahkan memilih pimpinan. Apalagi yang akan kita pilih bersama dalam
event Pilkada serentak beda jauh dan sangat penting, ia akan memimpin suatu
wilayah kabupaten, atau provinsi. Dampak kepemimpinannya seluas wilayah
kerjanya, persoalan yang dihadapi sebanyak penduduk di wilayahnya bahkan lebih, serta sistem yang harus dikendalikan sangat rumit. Sehingga perlu figur yang memiliki potensi dan kompetensi tinggi.
Imam Al-Ghazali menyambungkan
pentingnya pemimpin dengan agama sebagai berikut:
Dengan demikian, kita sebagai Muslim sekaligus warga
negara Indonesia yang baik punya tanggung jawab untuk mengangkat pemimpin. Apalagi dalam sistem
pemilihan umum yang dianut di Indonesia, partisipasi masyarakat dalam memilih diberikan sangat terbuka dan memiliki makna penting. Pilihan kita menentukan kualitas kepemimpinan dan perjalanan, pertumbuhan, dan perkembangan wilayah kita dimasa akan datang.
Lalu, pemimpin seperti apa layak kita
pilih? Sebagaimana yang tersemat dalam diri Rasulullah, kriteria pemimpin ideal ini memiliki empat sifat yang sudah sangat masyhur, yakni shiddiq
(jujur), amanah (bertanggung jawab
dan dapat terpercaya), tabligh
(aspiratif dan dekat dengan rakyat), fathanah
(cerdas, visioner). Inilah sifat-sifat ideal yang mesti ada dalam diri
pemimpin, di mana pun levelnya, apa pun jenis institusinya, bahkan hingga pemimpin dalam keluarga.
Kita tak boleh pesimis terhadap pilihan-pilihan yang ada di hadapan kita yang belum memenuhi standar empat kriteria tadi. Keputusan untuk diam sama sekali, atau menjadi golput, itu tidak lebih baik. Karena, memang tidak ada orang yang memenuhi kriteria ideal maksimal, kita berkewajiban ikhtiar membuat pilihan yang 'paling ideal' di antara Cakada (Calon Kepala Daerah) yang belum ideal. Atau dengan bahasa lain, memilih terbaik di antara yang belum memiliki kebaikan ideal.
Nah, bagaimana kita mengetahui kriteria pilihan? Cara paling mudah adalah Pertama, dengan melihat file rekam jejaknya. Sebagai
rakyat pemilik hak suara harus aktif mencari tahu tentang
kualitas Cakada yang hendak kita pilih. Jangan pasif, sikap pasif tidak
hanya membuat seseorang buta informasi tapi juga mudah dibohongi, menerima berita yang belum tentu valid, sepihak dari timses saja, bahkan juga sangat mudah diadu-domba dengan berita-berita hoaks.
Bisa dijadikan acuan, Musyawarah Alim Ulama NU pada tahun 2012 berkesimpulan tidak boleh mencalonkan diri, dicalonkan, dan dipilih untuk menduduki jabatan publik (urusan rakyat/umat), orang yang terkena satu di antara beberapa hal berikut: (1) Terbukti atau diduga kuat pernah melakukan korupsi, (2) Mengabaikan kepentingan rakyat, (3) Cenderung memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi, (4) Gagal dalam melaksanakan tugas-tugas jabatan sebelumnya. Dasar tentang hal ini sangat jelas dalam Al-Qur'an, artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil...” (QS an-Nisa: 58).
Kedua, Memperhatikan bagaimana cara calon pemimpin untuk naik ke
kursi Cakada. Idealnya calon pemimpin tidak mencalonkan atau
mengajukan dirinya sendiri, melainkan dicalonkan atau diajukan oleh masyarakat.
Namun, bila hal ini belum bisa terlaksana, setidaknya Cakada menggunakan cara-cara
bersih selama proses pencalonan, kampanye, hingga prosedur pemilihan
yang disepakati bersama.
Catatan, bila sejak pencalonan saja, Cakada terindikasi kuat bakal menyalahgunakan wewenang misalnya dengan money politics, rakyat yang memilih calon atau pendukungnya sejatinya sedang melakukan perbuatan zalim. Zalim pada siapa? Pertama, zalim kepada dirinya sendiri karena menjatuhan dirinya pada 'larangan agama dan negara'. Kedua, zalim kepada orang lain karena mereka telah mengorbankan masa depan kepentingan publik dengan memilih Cakada yang kotor.
Ibnu ‘Asyur dalam kitab tafsir at-Tahrîr wat Tanwîr, mengutip pernyataan Imam Fahruddin ar-Razi, mengatakan: “Jika rakyat ingin terbebas dari pemimpin yang zalim maka ia harus meninggalkan perbuatan zalim itu sendiri.” Quotes ini dilontarkan saat Beliau memberikan penjelasan ayat yang artinya, “Dan demikianlah kami jadikan sebagian orang yang zalim sebagai pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan amal yang mereka lakukan.” (QS al-An’am: 129).
Demikian pentingnya partisipasi masyarakat dalam hal
Pilkada, dan lebih utama lagi memilih Cakada yang
benar-benar berpihak pada kemaslahatan umat. Hal itu tentu tak akan
terwujud bila tidak dimulai dari diri kita sendiri, secara jujur, adil, bebas, rahasia, dan tanpa interfensi (baik berupa rusuah, janji manis, atau bahkan ancaman). Sekali lagi, “Meninggalkan perbuatan zalim dalam diri masing-masing votter adalah cara terbaik untuk menentukan dan mendapatkan pemimpin yang ideal.”
Kita berdoa semoga Pemilihan Kepala Daerah serentak tahun ini dan seterusnya di
seluruh wilayah Indonesia, berjalan dengan aman, damai,
adil, dan jujur. Mari gunakan hak pilih kita untuk memberikan yang terbaik
bagi nusa, bangsa, dan agama.
Semoga bermanfaat.
*) Anggota SPK Tulungagung, Paksi JatimPAK.
Comments
Post a Comment