Perlukah Quiet Quitting?
Apakah itu Quiet Quitting?
Quiet Quitting istilah yang vyral beberapa waktu lalu, ini menggambarkan
sikap karyawan yang hanya melakukan tugas-tugas dasar yang diperlukan, tanpa
berusaha lebih keras atau mengambil inisiatif tambahan. Istilah ini juga
bisa diartikan sebagai bekerja sesuai porsinya saja.
Fenomena Quiet
Quitting, bagaimana tren ini bermula. Sekitar dua
tahun lalu, trend
ini mulai vyral berawal karena sebuah
unggahan di TikTok dari akun bernama Zaidleppellin. Kemudian banyak
pengguna media sosial memberikan komentar dengan menceritakan pengalaman
masing-masing. Salah satunya mengatakan bahwa dia melakukan Quiet Quitting sejak 6 bulan lalu dan dia mendapatkan upah, apresiasi,
hingga rekognisi yang sama. Mereka menganggap telah terjebak
dalam budaya kerja hustle culture sehingga mengambil jalan Quiet Quitting
sebagai solusi.
Sebenarnya fenomena ini jika kita mau menoleh jauh ke
belakang di negara kita sudah lama terjadi namun dengan istilah-istilah lokal, seperti,
mbegu, ngambek, mbolosan, jurus
0704 (07.00 ceklok masuk dan 04.00 pulang, tengah kosong). Ada pula fenomena dimana
mereka tidak mau lagi berkreasi, membuat ide dan terobosan baru, karena yang
terjadi si kreator akan terjebak sebagai ekakutor juga. Ada yang melakukan protes
mandiri atau solodemo dan istilah yang mengidentifikasikan seorang pegawai
mengambil sikap terhadap kejadian di tempat kerja yang dirasa tidak adil, tak
proporsional, merasa overload, tak manusiawi dan sebagainya.
Sesungguhnya kondisi seperti ini memicu dan bahkan lebih parah dari Quiet Quitting
jika kita tilik dari pengertian di atas.
Tanda-Tanda Quiet Quitting
Berikut
tanda-tanda seorang pegawai telah terpapar Quiet Quitting adalah 1) Tidak melakukan pekerjaan di luar jam kerja, termasuk
membalas pesan maupun email. 2) Tidak aktif berdiskusi dalam menghadiri
agenda-agenda meeting. 3) Pulang tenggo (pulang tepat waktu) atau bahkan lebih
awal. 4) Menghindari acara-acara kantor. 6) Kurang antusias dalam bekerja
serta mengejar karir. 7) Tidak melibatkan diri dalam percakapan atau aktivitas
yang dianggap tidak penting. 8) Kurang memberikan kontribusi pada tim
karena terlalu fokus pada pekerjaan individu. 9) Menurunnya produktivitas kerja.
Apakah ada yang mengalami tanda-tanda seperti di atas?
Waspada!...
Penyebab Quiet Quitting
Memperhatikan hasil survei yang
membuat kesimpulan dalam suatu bentuk Pyramid Quiet Quitting dari Jason
Kaplan, ada lima faktor yang menyebabkan karyawan melakukan sikap demikian, sebagai berikut:
Pertama, Kurang komunikasi (lack of communication), beranggapan bahwa bekerja adalah berkarya, tiada waktu
tak ada saluran yang lancar untuk saling komunikasi baik horizontal (sesama
karyawan, pegawai) atupun vertical (bawahan dengan atasan). Kondisi ini membuat
suasana jenuh, timbul perasaan seperti sendiri, bak sapi perah, dan kondisi ini
berpengaruh pada menurunnya produktifitas, kreatifitas, inovasi, kerjasama tim,
kesalahpamahaman, semangat kerja dan kesejahteraan pegawai. Penyebab pertama
ini berada di puncak piramida artinya jumlahnya paling sedikit.
Kedua, Kurangnya rasa
memiliki (lack of sense of belonging). Mari perbandingkan orang yang
memiliki sense of belonging atau perasaan memiliki sesuatu, ia akan mencintai, menjaga, dan
peduli dengannya. Ia akan merasa terikat,
termotivasi, dan mampu memberdayakan dirinya sendiri dan perasaan
ini dapat membantu
mengatur tingkat stres dan mengatasi masa-masa sulit. Pegawai
yang memiliki sense of belonging akan merasa aman dengan posisinya,
lebih bebas menjadi diri mereka, dan lebih mungkin untuk bertahan di organisasinya. Nah,
kalau perasaan memiliki ini hilang dari diri seorang peagawai atau karyawan apa
yang terjadi?
Ketiga; Kurang dihargai (lack of feeling valued), bagi yang ringan dan memiliki kemampuan terus-menerus
mendapat tambahan tugas (diluar tugas pokoknya) tanpa mendapatkan nilai plus,
apresiasi sekedar ucapan terima kasih, atau tambahan reword, bonus materi yang
mampu membedakan dengan yang lain. Sementara mereka yang bekerja santai saja,
sama gajinya, tunjangan juga gak jauh beda. Jika ada yang berfikir
mending ikutan santui saja.
Ada satu item senjata dalam perjanjian kerja pegawai yaitu “Melaksanakan tugas lain yang
diperintahkan pimpinan baik tertulis maupun tidak tertulis”. Kalimat ini
sering dimanfaatkan untuk membenarkan setiap pelimpahan tugas kepada seseorang
hingga bertumpuk tugas yang bertumpu kepadanya. Padahal tugas dimaksud
sejatinya sudah masuk dalam perjanjian kinerja pegawai yang lain. Jika pegawai
menjadi kelelahan, jenuh dan akhirnya memilih queit quitting, yaa mau dikata
apa??
Jika tugas tambahan tersebut
diimbangi dengan suatu penghargaan si masih mending, seperti kata Annie McKee, “Tidak
ada yang lebih buruk daripada merasa tidak terlihat dan tidak didengar di
tempat kerja,” (penulis buku How to Be Happy at Work).
Keempat, Kurangnya
konsistensi (lack of consistency), Hala Dabboussy (Pelatih selama 17 tahun di perusahaan Amerika dan 4
tahun dalam bisnis dan pelatihan eksekutif) mengatakan, “Konsistensi adalah kunci keberhasilan dalam bisnis apa pun. Bisnis
membutuhkan aliran pelanggan yang konsisten, yang perlu dilayani oleh karyawan
yang termotivasi dan berkualifikasi secara konsisten yang akan memberikan
kualitas yang konsisten kepada pelanggan”. Kalua konsistensinya kurang?
Kelima, Kurangnya kepercayaan (lack of trust) yang berada di dasar piramida maksudnya adalah kurangnya
kepercayaan di lingkungan kerja adalah kondisi ketika karyawan tidak dapat
mengandalkan rekan kerja atau organisasi mereka. Hal ini bisa disebabkan
oleh beberapa faktor, seperti; Tidak
adanya transparansi, Komunikasi yang kurang atau tidak ada.
Kurangnya kepercayaan di tempat kerja dapat menimbulkan
beberapa dampak, antara lain; Ketegangan
yang tidak produktif, Lingkungan kerja yang tidak nyaman, Hilangnya kekayaan
intelektual, Kurangnya kolaborasi terbuka, Karyawan membawa rahasia dagang atau
pengetahuan saat meninggalkan perusahaan. Untuk
mengatasi kurangnya kepercayaan di tempat kerja, organisasi dapat
mempertimbangkan untuk merevisi kebijakan, proses, dan praktik mendasar.
Disampaikan dalam Webinar ASN Belajar
BPSDM Jatim, seri 41 tahun 2022 oleh tiga Narasumber sebagai berikut; menurut
Dokter Vitria Dewi, M.Si (kepala RSJ Menur), bahwa penyebab Queit Quitting bahwa mereka
menganggap bahwa lingkungan kerja bersifat toxic.
Dokter Vitria
mengingatkan, bagi ASN ada Core
value, yang telah ditetapkan sebagai kode etik / perilaku dalam UU ASN yaitu BerAKHLAK. Value
ini menjadi jawaban apakah Queit Quitting perlu atau tidak? Dengan value
ini akan terbangun pribadi ASN yang adaptif dan resiliensi.
Menurut Profesor Doktor Suryanto MSI Psikolog (Dekan Fak Psikologi
Unair), penyebabnya adalah 1) Karena disangagement,
keterputusan hubungan dalam kerja. 2) Pengaruhi dari konsep diri, bagaimana memaknai sebuah pekerjaan, bahwa
tidak semua orang bisa diterima
di tempat kerja idaman, maka konsep pemahaman bahwa pekerjaan sebagai amanah
menjadi penangkal utama
terhindar dari Queit Quitting. 3) Pengaruh
paham materialisme, yang menilai setiap pekerjaan harus ada reword, tunjangan
dll.
Sudah cukup kiranya jika seorang pegawai memiliki niat
bekerja adalah ibadah,
ia tidak akan ada kejenuhan, selalu semangat dan kreatif. Seorang yang memiliki pola
pikir seperti ini meyakini bahwa rejeki yang dicari adalah barokah. Ketika
kita kerja dengan baik, maka akan kita terima rejeki yang baik pula (cukup dan
mencukupi). Beliau juga mengapresiasi
dengan ditetapkannya core value luar ASN BerAKHLAK sebagai kode etik dan
perilaku.
Sedangkan menurut
DR. Ken Samsul Hidayat, SSMPSDM, bahwa penyebab Queit Quitting adalah cara memandang dengan sudut pandang yang sangat sempit atas segala apa yang terjadi
dihadapan kita, sehingga terjadi pemikian mengambil sikap Queit Quitting dianggap benar.
Dari paparan tiga Narasumber di atas kami dapat menarik kesimpulan, bahwa Queit Quitting di kalangan ASN sesungguhnya tidak perlu ada, jika semua mau komitemen dengan tugas masing-masing. Semua elemen mulai dari pimpinan hingga staf terbawah menjalankan kode etik dan perilkau BerAKHLAK. Dengan demikian kondisi setiap organisasi dalam pemerintahan akan harmonis dalam kolaborasi yang kuat.
Dampak Quiet Quitting
Dampak dari quiet quitting pada perusahaan, di
antaranya 1) Produktivitas menurun. 2) Inovasi terhambat. 3) Semangat
kerja tim bisa terganggu. Dampak negatif yang lain adalah 4) Tidak lagi
merasakan kepuasan diri. 5) Semangat terus menurun. 6) Atasan tidak puas dengan
hasil kerja kamu. 7) Pemutusan kerja karena dinilai tidak perform.
8) Sulit mencapai career goal yang
dimau. 9) lebih lanjut kinerja organisasipun terhambat.
Meminimalisir Quiet Quitting
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meminimalisir
dampak negatif Queit Quitting adalah 1) Memperbaiki hubungan antara atasan dan
bawahan. 2) Memperbaiki kembali rasa percaya satu sama lain, tidak hanya
hubungan vertikal di kantor, tetapi horizontal di mana hubungan di lingkungan kerja juga
harus ditingkatkan. 3) Lakukan komunikasi kepada atasan jika dirasa beban kerja
terlalu berat dan berikan data hasil kerja yang selama ini kamu lakukan. 4) Cari
perbaikan terhadap masalah yang terjadi dengan membuat win-win solution sehingga
kedua pihak bisa memahami apa yang terbaik untuk keduanya. 5) Berikan apresiasi
yang pantas kepada karyawan, baik berupa pujian, remunerasi, bonus, hingga promosi sesuai kinerja.
Semoga bermanfaat.
Disari dari berbagai sumber.
Comments
Post a Comment