Perlukah Quiet Quitting?

Susilo*)
Pembahasan terkait Quiet Quitting ini sesungguhnya telah ramai dipublikasikan sejak beberapa tahun lalu, namun tak ada salahnya jika kita kembali mengulasnya. Karena fenomena ini bisa saja masih dan akan terus terjadi, sehingga kita harus terus selalu waspadai. Tulisan ini sangat bermanfaat sebagai deteksi dini, jangan-jangan tanpa disadari tenda-tanda terjangkit Quiet Quitting mulai menempel pada diri kita. Atau bagi seorang pimpinan untuk mengamati dan mengevaluasi, adakah pegawai kita yang mulai terpapar?

Apakah itu
Quiet Quitting?

Quiet Quitting istilah yang vyral beberapa waktu lalu, ini menggambarkan sikap karyawan yang hanya melakukan tugas-tugas dasar yang diperlukan, tanpa berusaha lebih keras atau mengambil inisiatif tambahan. Istilah ini juga bisa diartikan sebagai bekerja sesuai porsinya saja. 

Fenomena Quiet Quitting, bagaimana tren ini bermula. Sekitar dua tahun lalu, trend ini mulai vyral berawal karena sebuah unggahan di TikTok dari akun bernama Zaidleppellin. Kemudian banyak pengguna media sosial memberikan komentar dengan menceritakan pengalaman masing-masing. Salah satunya mengatakan bahwa dia melakukan Quiet Quitting sejak 6 bulan lalu dan dia mendapatkan upah, apresiasi, hingga rekognisi yang sama. Mereka menganggap telah terjebak dalam budaya kerja hustle culture sehingga mengambil jalan Quiet Quitting sebagai solusi.

Sebenarnya fenomena ini jika kita mau menoleh jauh ke belakang di negara kita sudah lama terjadi namun dengan istilah-istilah lokal, seperti,  mbegu, ngambek, mbolosan, jurus 0704 (07.00 ceklok masuk dan 04.00 pulang, tengah kosong). Ada pula fenomena dimana mereka tidak mau lagi berkreasi, membuat ide dan terobosan baru, karena yang terjadi si kreator akan terjebak sebagai ekakutor juga. Ada yang melakukan protes mandiri atau solodemo dan istilah yang mengidentifikasikan seorang pegawai mengambil sikap terhadap kejadian di tempat kerja yang dirasa tidak adil, tak proporsional, merasa overload, tak manusiawi dan sebagainya. Sesungguhnya kondisi seperti ini memicu dan bahkan lebih parah dari Quiet Quitting jika kita tilik dari pengertian di atas.

Tanda-Tanda Quiet Quitting

Berikut tanda-tanda seorang pegawai telah terpapar Quiet Quitting adalah 1) Tidak melakukan pekerjaan di luar jam kerja, termasuk membalas pesan maupun email. 2) Tidak aktif berdiskusi dalam menghadiri agenda-agenda meeting. 3) Pulang tenggo (pulang tepat waktu) atau bahkan lebih awal. 4) Menghindari acara-acara kantor. 6) Kurang antusias dalam bekerja serta mengejar karir. 7) Tidak melibatkan diri dalam percakapan atau aktivitas yang dianggap tidak penting. 8) Kurang memberikan kontribusi pada tim karena terlalu fokus pada pekerjaan individu. 9) Menurunnya produktivitas kerja.

Apakah ada yang mengalami tanda-tanda seperti di atas? Waspada!...

Penyebab Quiet Quitting

Memperhatikan hasil survei yang membuat kesimpulan dalam suatu bentuk Pyramid Quiet Quitting dari Jason Kaplan, ada lima faktor yang menyebabkan karyawan melakukan sikap demikian, sebagai berikut:

Pertama, Kurang komunikasi (lack of communication), beranggapan bahwa bekerja adalah berkarya, tiada waktu tak ada saluran yang lancar untuk saling komunikasi baik horizontal (sesama karyawan, pegawai) atupun vertical (bawahan dengan atasan). Kondisi ini membuat suasana jenuh, timbul perasaan seperti sendiri, bak sapi perah, dan kondisi ini berpengaruh pada menurunnya produktifitas, kreatifitas, inovasi, kerjasama tim, kesalahpamahaman, semangat kerja dan kesejahteraan pegawai. Penyebab pertama ini berada di puncak piramida artinya jumlahnya paling sedikit.

Kedua, Kurangnya rasa memiliki (lack of sense of belonging). Mari perbandingkan orang yang memiliki sense of belonging atau perasaan memiliki sesuatu, ia akan mencintai, menjaga, dan peduli dengannya. Ia akan merasa terikat, termotivasi, dan mampu memberdayakan dirinya sendiri dan perasaan ini dapat membantu mengatur tingkat stres dan mengatasi masa-masa sulit. Pegawai yang memiliki sense of belonging akan merasa aman dengan posisinya, lebih bebas menjadi diri mereka, dan lebih mungkin untuk bertahan di organisasinya. Nah, kalau perasaan memiliki ini hilang dari diri seorang peagawai atau karyawan apa yang terjadi?

Ketiga; Kurang dihargai (lack of feeling valued), bagi yang ringan dan memiliki kemampuan terus-menerus mendapat tambahan tugas (diluar tugas pokoknya) tanpa mendapatkan nilai plus, apresiasi sekedar ucapan terima kasih, atau tambahan reword, bonus materi yang mampu membedakan dengan yang lain. Sementara mereka yang bekerja santai saja, sama gajinya, tunjangan juga gak jauh beda. Jika ada yang berfikir mending ikutan santui saja.

Ada satu item senjata dalam perjanjian kerja pegawai yaitu “Melaksanakan tugas lain yang diperintahkan pimpinan baik tertulis maupun tidak tertulis”. Kalimat ini sering dimanfaatkan untuk membenarkan setiap pelimpahan tugas kepada seseorang hingga bertumpuk tugas yang bertumpu kepadanya. Padahal tugas dimaksud sejatinya sudah masuk dalam perjanjian kinerja pegawai yang lain. Jika pegawai menjadi kelelahan, jenuh dan akhirnya memilih queit quitting, yaa mau dikata apa??

Jika tugas tambahan tersebut diimbangi dengan suatu penghargaan si masih mending, seperti kata Annie McKee, “Tidak ada yang lebih buruk daripada merasa tidak terlihat dan tidak didengar di tempat kerja,” (penulis buku How to Be Happy at Work).

Keempat, Kurangnya konsistensi (lack of consistency), Hala Dabboussy (Pelatih selama 17 tahun di perusahaan Amerika dan 4 tahun dalam bisnis dan pelatihan eksekutif) mengatakan, Konsistensi adalah kunci keberhasilan dalam bisnis apa pun. Bisnis membutuhkan aliran pelanggan yang konsisten, yang perlu dilayani oleh karyawan yang termotivasi dan berkualifikasi secara konsisten yang akan memberikan kualitas yang konsisten kepada pelangganKalua konsistensinya kurang?

Kelima, Kurangnya kepercayaan (lack of trust) yang berada di dasar piramida maksudnya adalah kurangnya kepercayaan di lingkungan kerja adalah kondisi ketika karyawan tidak dapat mengandalkan rekan kerja atau organisasi mereka. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti; Tidak adanya transparansi, Komunikasi yang kurang atau tidak ada.

Kurangnya kepercayaan di tempat kerja dapat menimbulkan beberapa dampak, antara lain; Ketegangan yang tidak produktif, Lingkungan kerja yang tidak nyaman, Hilangnya kekayaan intelektual, Kurangnya kolaborasi terbuka, Karyawan membawa rahasia dagang atau pengetahuan saat meninggalkan perusahaan. Untuk mengatasi kurangnya kepercayaan di tempat kerja, organisasi dapat mempertimbangkan untuk merevisi kebijakan, proses, dan praktik mendasar. 

Disampaikan dalam Webinar ASN Belajar BPSDM Jatim, seri 41 tahun 2022 oleh tiga Narasumber sebagai berikut; menurut Dokter Vitria Dewi, M.Si (kepala RSJ Menur), bahwa penyebab Queit Quitting bahwa mereka menganggap bahwa lingkungan kerja bersifat toxic. Dokter Vitria mengingatkan, bagi ASN ada Core value, yang telah ditetapkan sebagai kode etik / perilaku dalam UU ASN yaitu BerAKHLAK.  Value ini menjadi jawaban apakah Queit Quitting perlu atau tidak? Dengan value ini akan terbangun pribadi ASN yang adaptif dan resiliensi.

Menurut Profesor Doktor Suryanto MSI Psikolog (Dekan Fak Psikologi Unair), penyebabnya adalah 1) Karena disangagement, keterputusan hubungan dalam kerja. 2) Pengaruhi dari konsep diri, bagaimana memaknai sebuah pekerjaan, bahwa tidak semua orang bisa diterima di tempat kerja idaman, maka konsep pemahaman bahwa pekerjaan sebagai amanah menjadi penangkal utama terhindar dari Queit Quitting. 3) Pengaruh paham materialisme, yang menilai setiap pekerjaan harus ada reword, tunjangan dll.

Sudah cukup kiranya jika seorang pegawai memiliki niat bekerja adalah ibadah, ia tidak akan ada kejenuhan, selalu semangat dan kreatif. Seorang yang memiliki pola pikir seperti ini meyakini bahwa rejeki yang dicari adalah barokah. Ketika kita kerja dengan baik, maka akan kita terima rejeki yang baik pula (cukup dan mencukupi). Beliau juga mengapresiasi dengan ditetapkannya core value luar ASN BerAKHLAK sebagai kode etik dan perilaku.

Sedangkan menurut DR. Ken Samsul Hidayat, SSMPSDM, bahwa penyebab Queit Quitting adalah cara memandang dengan sudut pandang yang sangat sempit atas segala apa yang terjadi dihadapan kita, sehingga terjadi pemikian mengambil sikap Queit Quitting dianggap benar.

Dari paparan tiga Narasumber di atas kami dapat menarik kesimpulan, bahwa Queit Quitting di kalangan ASN sesungguhnya tidak perlu ada, jika semua mau komitemen dengan tugas masing-masing. Semua elemen mulai dari pimpinan hingga staf terbawah menjalankan kode etik dan perilkau BerAKHLAK. Dengan demikian kondisi setiap organisasi dalam pemerintahan akan harmonis dalam kolaborasi yang kuat. 

Dampak Quiet Quitting

Dampak dari quiet quitting pada perusahaan, di antaranya 1) Produktivitas menurun. 2) Inovasi terhambat. 3) Semangat kerja tim bisa terganggu. Dampak negatif yang lain adalah 4) Tidak lagi merasakan kepuasan diri. 5) Semangat terus menurun. 6) Atasan tidak puas dengan hasil kerja kamu. 7) Pemutusan kerja karena dinilai tidak perform. 8) Sulit mencapai career goal yang dimau. 9) lebih lanjut kinerja organisasipun terhambat.

Meminimalisir Quiet Quitting

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak negatif Queit Quitting adalah  1) Memperbaiki hubungan antara atasan dan bawahan. 2) Memperbaiki kembali rasa percaya satu sama lain, tidak hanya hubungan vertikal di kantor, tetapi horizontal di mana hubungan di lingkungan kerja juga harus ditingkatkan. 3) Lakukan komunikasi kepada atasan jika dirasa beban kerja terlalu berat dan berikan data hasil kerja yang selama ini kamu lakukan. 4) Cari perbaikan terhadap masalah yang terjadi dengan membuat win-win solution sehingga kedua pihak bisa memahami apa yang terbaik untuk keduanya. 5) Berikan apresiasi yang pantas kepada karyawan, baik berupa pujian, remunerasi, bonus, hingga promosi sesuai kinerja.

Semoga bermanfaat.

Disari dari berbagai sumber.

*) Penulis adalah Paksi dari Forum JatimPAK

Comments

Popular posts from this blog

ROAD TO HSN 2024

ADA JIHAD DALAM POLITIK?!

Satu Buku untuk Tulungagung Maju