Jalan Lurus dan Dekat Menuju Bahagia
Susilo*)
Menuju kebahagiaan itu sesungguhnya jalannya lurus dan tempatnya sangat dekat, namun tidak semua mau memahaminya. Masih banyak yang beranggapan bahwa untuk bahagia itu ada syarat tertentu yang harus dipenuhi dulu baru bisa bahagia. Nah, persyaratan yang kita tentukan sendiri itulah sesungguhnya yang menjadi penghalang datangnya kebahagiaan.
Contoh nih, kebahagiaan itu berbanding lurus dengan ketebalan isi dompet. Maka kebahagiaan kita terhalang oleh persyaratan harus tebal isi dompetnya dulu, dan kebahagiaan juga akan berangsur habis jika isi dompetnya menipis. Kondisi seperti ini sesungguhnya sudah bahagia atau sebatas senang saja?
Bagi seorang wanita, upamanya ia mensyaratkan bahagia itu datang jika memiliki suami tampan, kaya dan setia. Demikian juga bagi seorang pria, jika menentukan standar calon istri yang cantik, sholihah, dari keluarga baik dan kaya. Tak ada manusia yang seperfect itulah, syarat ideal yang luar biasa, namun sepertinya harus kita kaji ulang deh. Karena dengan syarat itu kebahagiaan tak akan mudah datang ia sudah terhijab oleh persyaratan maksimal.
Kadang kita gak sadar, sesungguhnya diri kita sendirilah yang menjadi penghalang datangnya kebahagiaan. Mungkin karena kita belum bisa membedakan antara kesenangan dan kebahagiaan.
Memang darimana sih kebahagiaan itu datang? Menurut Mastori dalam buku Pemikiran Politik Dakwah Kontemporer, kebahagiaan menurut Islam tidak hanya berkaitan dengan kepuasan jasmani manusia, tetapi juga terhubung langsung dengan keimanan dan ketakwaan terhadap Allah SWT.
Imam Al-Ghazali membagi kebahagiaan manusia menjadi dua tingkatan, yaitu lazaat (kepuasan) dan sa'adah (kebahagiaan). Lazaat lebih pada aspek indrawi dan sesaat, sedangkan sa'adah bertumpu pada aspek batini.
Penjelasan Al-Ghazali di atas membuka pintu cara pandang kita tentang kepuasan atau kesenangan dengan sifat sesaat dan dibungkus berbagai syarat. Sedang kebahagiaan bersumber dari aspek batiniyah yang memiliki jalan mudah dan bersifat abadi.
Kebahagiaan tidak dapat diukur dari banyaknya harta, kekayaan, status sosial, atau kemewahan lainnya. Jika manusia hanya mengukur kebahagiaan dari hal tersebut, tentu dirinya tidak akan pernah merasa puas. Akhirnya tidak semua orang mampu meraih kebahagiaan jika cara pandangnya seperti ini.
Mengutip buku Mencari Islam Sebuah Ikhtiar Kokohkan Paham dan Kesadaran Beragama karya Ahmad Tamimi, konsep kebahagiaan menurut Islam adalah ketenangan hati dan kenyamanan jiwa yang diperoleh seorang hamba karena anugerah dari Allah SWT.
Konsep di atas sesuai dengan hadits Nabi dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, ”Yang namanya kaya bukanlah dengan memiliki banyak harta, akan tetapi yang namanya kaya adalah hati yang selalu merasa cukup". (HR. Bukhari no. 6446, Muslim no. 1051, Tirmidzi no. 2373, Ibnu Majah no. 4137).
Dalam kitab Nashoihul ‘Ibad, orang yang bahagia menurut pandangan Islam memiliki tiga ciri-ciri, yaitu berhati alim, berperilaku sabar dalam menghadapi cobaan, dan selalu bersyukur dengan apapun yang dimilikinya.
Untuk mendapatkan ketenangan yang dimaksud, kita harus terlebih dahulu meningkatkan keimanannya terhadap Allah SWT. Yakin bahwa Allah akan memberikan balasan sepadan dengan apa yang kita lakukan, sebagaimana firman-Nya berikut ini, artinya;
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu, mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.” (QS. Huud: 3).
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa surga dunia adalah mencintai Allah, mengenal Allah, senantiasa mengingat-Nya, merasa tenang dan thuma’ninah ketika bermunajat pada-Nya, menjadikan kecintaan hakiki hanya untuk-Nya, memiliki rasa takut dan dibarengi rasa harap kepada-Nya, senantiasa bertawakkal pada-Nya dan menyerahkan segala urusan hanya pada-Nya. Inilah surga dunia yang dirindukan oleh para pecinta surga akhirat.
Selanjutnya lebih rinci, diirangkum dari buku Pendidikan Agama Islam untuk Jenjang Perguruan Tinggi karya Fadhil Santosa dan Wawan Ridwan, berikut adalah cara yang dimaksud (memperoleh kebahagiaan).
Pertama, Selalu mengingat Allah SWT sebagai dzat yang maha memberi, menciptakan, dan menentukan kebahagiaan pada hamba-Nya.
Kedua, Senantiasa bersyukur atas segala nikmat dan rezeki yang telah Allah SWT berikan berapapun jumlahnya.
Ketiga, Selalu ikhlas dalam beribadah dan melakukan perbuatan baik yang hanya ditujukan semata-mata untuk mengharapkan ridha dari Allah SWT.
Keempat, Senantiasa bersikap tawakal, yaitu membebaskan diri dari segala ketergantungan selain Allah dan menyerahkan semua keputusan hanya kepada Allah.
Kelima, Selalu berbuat baik dan menghindari perilaku jahat terhadap sesama.
Ternyata sumber kebahagiaan itu jalanya lurus dan sangat dekat, tidak diberatkan dengan berbagai syarat, sehingga siapapun hamba yang benar-benar mengharapkan menjadi sangat mudah untuk mendapatkan.
Masih mau ditipu dengan berbagai syarat yang sesungguhnya ia adalah bisikan syetan untuk menggerkan nafsu? Jangan ah, kita semua sekarang sudah tahu roadmaps-nya kok!
Semoga bermanfaat.
*) Anggota SPK Tulungagung, Paksi JatimPAK.
Comments
Post a Comment