BARU PAHAM SETELAH DELAPAN TAHUN
Bertemu Guru Spiritual, kisah perjalanan yang memberikan pelajaran penting dalam hidup ini. Bimbingan itu bisa dalam bentuk contoh tindakan dan terkadang dalam berupa perintah atau tugas sebuah tanggungjawab yang diberikan kepada kita agar kita memetik sendiri ilmu yang tersembunyi di dalamnya.
Tahun 1991, kami lulus dari Madrasah Aliyah Negeri 1 Tulungagung, setahun berikutnya melanjutkan ke Perguruan Tinggi, di Universitas Darul 'Ulum Jombang. Singkat kisah, kami diperjalankan untuk bisa mukim disebuah pesantren kecil bernama Fathul 'Ulum dengan santri dari kalangan mahasiswa, kalau sekarang mungkin Pesma. Disinilah kami mendapat bimbingan intens dari Abah Tafsir (Panggilan akrab dari KH. Tafsirudin Muchid).
Beliau memiliki segudang cara memberikan bekal ilmu kepada semua santrinya. Suatu ketika jadwal ngaji pagi, saya tidur lagi setelah sholat Subuh, tapi oleh Abah dilarang dibangunkan, itu cerita teman yang satu bilik dengan saya. Saya bertanya-tanya dalam hati, kok sepertinya Abah tidak mewajibkan saya ngaji ya? Tapi kala itu memang saya sama Mas Eko (Purworejo Jawa Tengah) sudah mendapatkan tugas khusus tiap pagi untuk isah-isah, ngisi bak mandi (waktu itu belum punya sanyo), membantu Kang Sapuan masak untuk konsumsi keluarga ndalem dan ngurusi admin pesantren. Pelajaran berharga terkait tulis-menulis dimulai dari sini (walau tanpa bekal pengalaman), tumbuh inisiatif dari Abah saya bersama beberapa santri mulai merintis terbitnya Bulletin Pesantren Forum Santri.
Saya masih belum bisa menangkap makna dibalik tugas yang diberikan Abah pada saya. Hingga suatu ketika Abah Mas'ud (almarhum, adik dari Abah Tafsir) semoga Allah terima semua amal baktinya, dalam sebuah perbincangan santei dengan santri-santri. Kilas balik suasana Pondok Fathul 'ULum, di pondok ini suasananya seperti rumah sendiri, saat dilaur jadwal ngaji Abah Tafisr dan Abah Mas'ud biasa lo berkumpul dengan santri sekedar untuk ngobrol hingga guyon gayeng ala santri khas Jombang. Beliau benar-benar seperti orang tua sendiri, momong dan menerima kita apa adanya, menasihati dan tempat curhat juga. Saat santei ini Abah Mas'ud menyampaikan dengan gaya khasnya, "Kalau ditugasi Abah ngisi jeding, itu niatkan menimba ilmu. Kalau ditugasi korah-korah (mencuci peralatan makan dan masak) niati tazkiyah.." Wah, Abah menyampaikan pada beberapa santri tapi kena banget padaku, baru otakku bisa mencerna pelajaran dibalik tugas yang diberikan kepada saya.
Belajar dari Beliau cara memperlakukan sholat, saya hanya mengamati bagaimana Beliau mengistimewakan sholat. Setiap kali datang ke musholla Beliau salalu berpakaian rapi, kopah putih, dilengkapi sorban, memakai wewangian dan masih membawa sajadah lagi. Sholat rawatib tak pernah Beliau tinggalkan. Terkadang saat kami mendapat hidayah bisa bangun malam (ya, karena bangun malam saya gak rutin, keenakan tidur) saya dapati Abah tampaknya sudah lebih dahulu bangun untuk sholat malam.
![]() |
Foto Abah KH. Tafsirudin Muchid |
Saya juga teringat suatu malam ba'da jamaah 'Isya, tiba-tiba Abah Tafsir memanggilku, "Susilo, ayo ikut Abah.." Saya tak berani menolak hanya menjawab singkat "Njih Bah". Dengan penuh pertanyaan dalam hati, saya ikuti saja Abah selayaknya ajudan. Ternyata saya diajak ke Terminal Kepuh Sari yang hanya berjarak 500 m dari pondok. Makin penasaran, mau kemana nih, nanya juga gak berani, dalam sekejap kami sampai (saya dibangunkan Abah, Beliau bilang sudah sampai). Kita berjalan tak lama, tampak terlihat gerbang sebuah pondok, masih jelas tersimpan dalam file ingatanku Pondok Pesantren Hidayatul Muna Ponorogo. Saya hanya ngikuti Abah saja, bertemu KH. Masduki Thoyyib (kalau gak salah ingatan saya nama Beliau pengasuh pondok) dan beberapa pengurus pondok, Abah berbincang-bincang begitu akrab, saya sih pendengar setia saja. Setelah cukup kita berlanjut ke tempat lain seingatku saya diajak silaturrahim ke tiga pesantren cuma yang dua sudah lupa namanya, maklum sudah diluar kesadaran. Kami pulang lagi ke Jombang kira-kira sudah menjelang subuh. Abah hendak mengajarkan apa ya pada saya???
Delapan tahun kemudian saya baru menemukan jawaban mengapa Abah memberi tugas membantu masak dan ngurusi berbagai administrasi pesantren. Tahun 1998 Allah takdirkan saya menjadi Sekretaris Desa (mungkin saya sebagai peserta yang tak masuk perhitungan). Setelah setahun atau dua tahun saya menjalankan tugas, baru rahasia itu terbuka, bahwa masak yang sesungguhnya adalah disini, menghadapi orang dengan karakter seperti beras, seperti tepung, seperti kelapa, mirip bawang atau brambang, identik dengan tumbar, hingga sama persis dengan lombok dan lainnya. Rahasia Abah menugasi sebagai admin diberbagai urusan pondok mungkin dipersiapkan untuk mengabdi dalam kehidupan nyata sebagaimana amanat jabatan saya waktu itu.
Semoga Abah sekeluarga dikaruniai kesehatan, kebahagiaan dan kemuliaan dunia hingga kelak di akhirat, aamiin...
Abah mnginspirasi, kuikuti jejak Beliau berdakwah melalui lembaga pendidikan... (Bersambung)
Semoga bermanfaat.
Penulis: Susilo (Anggota JatimPAK)
Subhanallah Pak, sosok guru yang luar biasa.
ReplyDelete