Korupsinya Orang Beriman
Korupsi sudah terjadi sejak sebelum NKRI berdiri, zaman kerajaan, zaman penjajahan (bahkan VOC, kongsi bisnis terbesar kala itupun, bangkrut karena ulah koruptor), zaman kemerdekaan hingga zaman kekinian korupsi masih ada saja terjadi. Yang bikin terperangah, korupsi besar-besaran justru dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi bahkan orang yang dipandang memiliki ilmu agama berkecukupan. Lho memang orang beriman bisa korupsi?
Korupsi pertama, Sebagaimana hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang artinya : “Seburuk-buruknya pencuri adalah yang mencuri dari shalatnya”. Para sahabat kaget dan bertanya kepada Rasulullah tentang bagaimana bisa mencuri dalam shalat?. Lalu Rasulullah bersabda, “Dia tidak sempurnakan rukuk dan sujudnya” (HR Imam Ahmad).
Dalam kasus korupsi ini dikatagorikan seburuk-buruk dari korupsi (mencuri) karena korupsi dilakukan oleh seorang hamba beriman kepada Tuhan yang menjadi sesembahan. Tentu kasus ini tidak masuk dalam tuntutan hukum perundangan negara, tapi masuk dalam ranah regulasi syari'at dari Sang Pencipta semesta. Sehingga pengadilan, hukuman dan pengampunannya adalah secara spiritual.
Tuma’ninah merupakan rukun shalat, baik pada ruku, i’tidal, sujud maupun duduk diantara dua sujud sebagaimana hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang artinya, “Jika kamu hendak mengerjakan shalat maka bertakbirlah, lalu bacalah ayat al Quran yang mudah bagi kamu. Kemudian rukuklah sampai benar-benar rukuk dengan tuma'ninah, lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud dengan tuma'ninah, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk sampai benar-benar duduk dengan tuma'ninah, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud, Kemudian lakukan seperti itu pada seluruh shalatmu”, (HR Imam Bukhari).
Korupsi kedua, adalah perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan negara yang dilakukan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Sebagaimana dijelaskan unsur-unsur korupsi menurut Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 adalah (1) Perbuatan melawan hukum. (2) Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana. (3) Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan (4) Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Orang beriman, memiliki ilmu umum dan agama yang cukup, ia melakukan shalat apa masih bisa juga melakukan tindak korupsi? Ya, sebagaimana kita pahami bersama bahwa iman itu fluktuatif, naik-turun, kuat-lemah menjadi satu siklus. Disaat turun dan lemah itulah iman bisa makin terkikis hingga habis, atau hilang sementara tertutup nafsu dan keserakahan sehingga bisa jadi ia korupsi. Ketika iman menguat, kesadaran meningkat barulah penyesalan yang terjadi.
Namun bisa saja seorang yang memiliki landasan ilmu agama ia gunakan sebagai sandaran, dengan segenap keyakinan ia gunakan kemahabaikan Tuhan sebagaimana dalam Surat Az-Zumar Ayat 53 artinya "Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Ia yakinkan diri bahwa dosa sebesar apapun akan Tuhan ampuni, mungkin mereka berharap setelah melakukan dosa, termasuk korupsi ia akan bertaubat. Keyakinan itu tentu tidak salah, benar bahwa Allah tidak meningkari janji-Nya, tapi kelihatannya ada yang terlupakan bahwa dosa spiritual (antara hamba dengan Tuhannya) tidak sama perlakuannya dengan dosa yang ada kaitan sosial.
Seperti peringatan Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, “Barangsiapa pernah melakukan kedzaliman terhadap saudaranya, baik menyangkut kehormatannya atau sesuatu yang lain, maka hendaklah ia minta dihalalkan darinya hari ini, sebelum dinar dan dirham tidak berguna lagi (hari kiamat). (Kelak) jika dia memiliki amal shaleh, akan diambil darinya seukuran kedzalimannya. Dan jika dia tidak mempunyai kebaikan (lagi), akan diambil dari keburukan saudara (yang dizalimi) kemudian dibenankan kepadanya." (HR Al-Bukhari).
Hadits di atas, bahwa karena dosa dengan sesama seorang pendosa tidak dimaafkan kecuali korban atau orang yang dirugikan memberi maaf. Memang dimungkinkan sebagian orang yang menjadi korban dari perbuatan dzalim kita akan memberi maaf. Namun, ada kemungkinan juga dia tidak memaafkan. Mereka simpan kebencian dan kemarahan dalam hatinya. Kalau itu yang terjadi, dosa tetap tersandang dalam diri si Pelaku. Pilihan jalan yang aman adalah dengan proaktif, yaitu meminta maaf, hal ini akan menjamin kepastian dihapuskannya dosa. Meminta maaf merupakan salah satu bentuk kerendahhatian (tawadhu’) pribadi dan juga merupakan salah satu bentuk keberanian mengakui kesalahan, penyesalan dan keseriusan mohon ampunan.
Nah, bagaimana jika dosa karena korupsi, siapa yang dirugikan atau disakiti? Adalah semua warga negara yang ada bahkan generasi berikutnya. Lalu bagaimana seorang koruptor bisa meminta maaf kepada seluruh rakyat dalam suatu negara? Melalui media sosiallah, mungkin dianggap begitu solusinya. Tapi, apakah setiap warga terjangkau medsos? Kalaupun terjangkau apakah semua akan memberi maaf? Jika ada yang tidak memaafkan, maka jangan harap mendapat ampunan Tuhan.
Kembali kita memperhatikan pesan Nabi di atas, untuk menghapus perbuatan hina, yang memalukan atau perbuatan yang menyakiti dan/atau merugikan orang lain menghapus adalah dengan jalan sosial (meminta maaf kepada orang lain) dan spiritual (bertaubat kepada Tuhan). Kemudian ditutup dengan perbuatan baik kepada sesama dan tentu juga berbuat baik kepada Tuhannya.
Semoga kita diberikan bimbingan untuk mempertahankan iman, sehingga bisa terhindar dari dosa sosial maupun spiritual, aamiin.
Penulis: Susilo (JatimPAK)
Comments
Post a Comment